Senin, 25 Agustus 2008

"Tumo" Haram ???


Tidak bermaksud untuk latah menggunakan kalimat yang sangat sakral, yaitu Haram, dan saya juga tidak bermaksud untuk menambah keresahan ‘masyarakat’ dengan adanya predikat haram yang baru. Sebab, Memberikan predikat haram pada suatu hal, bukanlah persoalan sederhana dan mudah, karena Halal dan haram merupakan Wewenanng Allah SWT.

Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:

"Katakanlah! Apakah kamu mengetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?"(Yunus: 59)

"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)

Dari beberapa ayat al Qur’an seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah).

Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).

Kembali pada masalah “Tumo” , yaitu pemberian bantuan pada wartawan usai melakukan peliputan sidang paripurna di DPRD Jateng sebesar 75 ribu, dan lebih popular dengan sebutan “Tumo” (pitu limo), adalah sumber penghasilan wartawan yang perlu difikirkan tingkat kehalalannya.

Pasalnya, pemberian tersebut dikategorikan sebagai pemberian “resmi”, yang diperuntukan bagi wartawan yang bertugas dan meliput kegiatan paripurna DPRD Jateng, sehingga dana yang terserap untuk itu bisa mencapai ratusan juta rupiah. Namun, meskipun dana yang terserap sedemikian besar, pengeluaran tersebut tidak ada dalam anggaran Setwan/DPRD pada APBD Jateng. Dengan demikian, pengeluaran tersebut merupakan belanja anggaran yang tidak sah.

Karena menyangkut disiplin anggaran yang tidak sah, tidakkah perlu memikirkan tingkat kehalalan uang tersebut ? Kalimat Tidak Sah, dalam hukum yang berlaku di tanah air, biasanya berhubungan dengan tindakan yang melawan hukum, serta memiliki sanksi hukuman. Ditambahkan lagi, tiap pasal pelanggaran dalam KUH Pidana, dapat dipastikan pelanggaran tersebut juga dibenci Agama, sedangkan tiap hal yang dibenci Agama, adalah segala sesuatu yang mendekati dengan hukum Haram.

Untuk itu, marilah kita berfikir…

Hampir sejalan dengan pemikiran tersebut, Kasubag Humas dan Publikasi Setwan DPRD Jateng, Rani Ratnaningsih SH, sedang memikirkan solusi terbaik untuk menjalin kemitraan dengan wartawan. Dirinya juga mengakui, bahwa pemberian bantuan transport tiap kali ada kegiatan paripurna, merupakan kebijakan yang tidak mendidik, bahkan dirinya mengibaratkan bagai bantuan BLT. Solusi yang tepat, menurutnya adalah semacam imbal jasa bagi wartawan yang karya tulisnya dimuat dalam medianya.

Apapun bentuk dan istilahnya, menurut hemat saya yang terbaik adalah kejelasan dari disiplin anggaran tersebut. Jangan sampai di kemudian hari, wartawan yang hanya makan beberapa ‘tumo’, ikut terseret dalam pemeriksaan KPK ataupun Kejaksaan, karena ikut andil dalam menggerogoti APBD. Na’ udzu billahi min jalik...

***Gus_bs

Minggu, 10 Agustus 2008

BPKP Temukan Kerugian Rp 5 M Dugaan Korupsi Sukawi


SEMARANG- Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jateng menemukan kerugian negara hampir Rp 5 miliar dalam perkara dugaan korupsi anggaran bantuan organisasi pada pos biaya komunikasi pemerintahan dari APBD Semarang 2004.
Rekomendasi BPKP itu memperkuat sangkaan terhadap Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip, dalam kasus korupsi yang kini tengah dalam penyidikan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jateng.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jateng Uung Abdul Syakur mengatakan dengan turunnya audit itu, Kejati dalam waktu dekat akan mengirimkan izin pemeriksaan terhadap Sukawi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Didampingi Kasi Penyidikan Gatot Guno Sembodo, Selasa (5/8), Uung mengatakan audit kerugian negara itu saat ini sudah clear, dan tinggal menunggu penyampaian dari BPKP ke Kejati.
Auditnya, kata dia, sudah ditandatangani Kepala BPKP, untuk kemudian diserahkan ke Kejaksaan Tinggi. ”Hanya hari ini belum sampai ke tangan saya. Mungkin besok (Rabu-Red) hasilnya baru diserahkan ke kami,” katanya.
Izin Presiden
Penyidikan saksi-saksi dalam perkara wali kota Semarang, lanjut Aspidsus, sementara sudah dianggap cukup, dan tinggal menunggu izin presiden saja untuk memeriksa Sukawi. Untuk perkara tersangka mantan ketua DPRD Ismoyo Soebroto, tidak memerlukan izin dalam pemeriksaannya.
Ismoyo sudah diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka, dalam perkara yang sama dengan Sukawi. Namun dia akan didakwa kaitannya aliran uang ke anggota DPRD 1999-2004 dalam bentuk bantuan mobilitas Dewan, dari pos biaya komunikasi pemerintahan.
Sementara Sukawi, selain akan didakwa kaitannya dengan bantuan mobilitas mantan anggota Dewan yang total nilainya mencapai Rp 2,7 miliar, dia akan didakwa menyangkut aliran uang ke perseorangan sekitar Rp 2,3 miliar, yang berasal dari biaya komunikasi pemerintahan itu.(H30-77)

KPK Siapkan Baju Khusus Bagi Koruptor

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menerapkan aturan bagi tersangka atau terdakwa korupsi untuk mengenakan baju khusus. Penggunaan seragam ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan menimbulkan rasa malu.
"Sudah diusulkan dan didiskusikan bahwa koruptor akan diberi baju khusus. Pimpinan sudah tidak ada yang keberatan. Ini masih akan didesain," ujar Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin saat memaparkan hasil survei tentang persepsi masyarakat terhadap KPK (07/08) di Gedung KPK Jakarta.
Selain penggunaan baju khusus, KPK juga mempertimbangkan untuk memborgol tersangka dan terdakwa korupsi. Namun, aturan dan teknis pelaksanaan ketentuan ini masih akan dibahas lebih jauh oleh pimpinan KPK. Dalam waktu dekat, aturan ini sudah dapat diterapkan bagi seluruh tahanan KPK. Jasin pun memastikan bahwa rencana ini tidak akan melanggar ketentuan. Apalagi, Pasal 25 ITU No 30/2002 tentang KPK memberi kebebasan pada lembaga itu dalam mengeluarkan keputusan demi mendukung kinerja. "Untuk borgol, sebisa mungkin kita pertimbangkan dalam rapat pimpinan," ujar Jasin.
Menurut Jasin, wacana untuk mewajibkan tahanan KPK mengenakan baju khusus, murni didasarkan upaya pendidikan antikorupsi. Kewajiban mengenakan baju khusus hanya bersifat sanksi sosial. Penampilan yang berbeda ini diharapkan dapat memberi efek jera serta mendidik masyarakat menghindari praktik korupsi. Jasin pun menepis anggapan bahwa wacana ini terlalu berlebihan, sehingga bisa melanggar hak-hak pribadi seseorang. Sebab, proses hukum dijamin akan tetap berjalan pada aturan yang berlaku. "Kita tidak mendesain seseorang untuk dihukum, tetapi benar-benar diadili," tegasnya.
Berdasarkan pengamatan KPK selama ini, seorang tersangka, terdakwa, bahkan terpidana korupsi seringtidak menunjukkan rasa penyesalan sama sekali. Bahkan, di antara mereka ada yang secara terbuka tetap menunjukkan citra baik di hadapan masyarakat melalui ekspose media. Tidak jarang pula, saat datang hendak diperiksa KPK, mereka tersenyum sambil melambai-lambaikan tangan.
"Selama ini malah ada koruptor yang senang dan bangga terus tampil di televisi, padahal seharusnya dia malu," ujar Jasin.
Sebaliknya, dalam perkara tindak pidana umum, penggunaan baju khusus tersangka ataupun terdakwa merupakan hal biasa. Seorang tersangka yang sedang disidik kepolisian saat diperiksa dan ditahan biasanya menggunakan baju khusus tahanan.
Menanggapi rencana KPK ini, Koordinator Bidang Moni toring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengaku sepakat. Penggunaan baju khusus dengan label koruptor dinilai sebagai tepat sebagai terapi kejut yang mampu meningkatkan efek jera bagi para koruptor atau calon koruptor.
Hal senada disampaikan Direkrur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana. Menurut Denny, selama ini yang tidak ada dari penegakan hukum di Indonesia adalah tindakan mempermalukan dan memberikan efek jera bagi para koruptor. "Pemakaian baju khusus koruptor itu memang harus dilakukan untuk mempermalukan," tandas Denny.

ICW: Tunggakan Royalti Batubara Capai Rp 16,482 Triliun

Hasil perhitungan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyimpulkan total tunggakan pembayaran royalti seluruh produsen batubara yang beroperasi di Indonesia mencapai Rp 16,482 triliun.
"Hasil perhitungan kami menyimpulkan total tunggakan produsen batubara pada negara sebesar Rp 16,482 triliun," ungkap Kadiv Pusat Data ICW, Firdaus Ilyas, dalam jumpa pers di kantornya, Kalibata, Jakarta, Jumat (8/8/2008).
Hasil perhitungan tersebut cukup mengejutkan. Sebab dalam siaran pers yang diumumkan oleh Departemen ESDM pada 6 Agustus lalu dinyatakan total tunggakan royalti batubara sejak 2001 hingga 2007 hanya sebesar Rp 7 triliun saja.
"Selisih Rp 16,482 triliun tersebut kami peroleh dari perhitungan jumlah total penjualan batubara sepanjang tahun 2000 hingga 2007 terhadap 13,5% royalti yang harus dibayarkan pada negara sebagaimana telah ditentukan," ujar Firdaus.
Menurut Firdaus, sepanjang 2000 hingga 2007, total volume batubara yang dijual oleh seluruh produsen batubara di Indonesia sebanyak 1,022 miliar ton.
"Berdasarkan jumlah tersebut, seharusnya total royalti yang dibayarkan selama periode itu sebesar Rp 40,477 triliun," jelas Firdaus.
Namun berdasarkan data penerimaan royalti negara, jumlah yang diterima negara sebesar Rp 23,995 triliun. Artinya terdapat selisih royalti yang tidak masuk kas negara sebesar Rp 16,482 triliun.
"Itu jika berdasarkan harga rata-rata FOB masing-masing produsen. Jika menggunakan patokan harga internasional batubara selama periode tersebut, jumlah royalti yang tidak masuk kas negara jauh lebih besar lagi," papar Firdaus.
Jika menggunakan patokan harga batubara internasional dengan jumlah produksi sebesar 1,022 miliar ton sepanjang 2000-2007, maka total penerimaan royalti negara dari batubara seharusnya sebesar Rp 62,149 triliun.
"Artinya, jika dalam data riil penerimaan negara dari royalti batubara selama periode tersebut hanya sebesar Rp 23,995 triliun, maka tunggakan royalti yang tidak masuk kas negara mencapai Rp 38,154 triliun," papar Firdaus.
Menanggapi hal ini, ICW mengimbau agar segera dilakukan audit pada semua produsen batubara yang beroperasi di Indonesia.
"Hal ini perlu dilakukan agar jumlah tunggakan yang seharusnya diterima negara bisa diketahui secara transparan," ujar Firdaus.
***

Korupsi, Kadis Infokom dan Mantan Kadis Kesehatan Ditahan

Kadis Infokom Provinsi Maluku, Dra, Lies Ulahyanan dan mantan Kadis Kesehatan Provinsi Maluku dr Rukiah Marabessy, M.Kes akhirnya ditahan aparat penyidik kejaksaan dalam kaitan dugaan korupsi milyaran rupiah di kedua instansi yang mereka pimpin itu.
Kalau sebelumnya, keduanya selalu berkelit dan mengulur-ulur waktu penahanan dengan alasan sakit dan sebagainya, sore kemarin (28/7) hal itu tidak bisa dilakukan lagi walau ada upaya untuk tidak bersedia menandatangani surat perintah penahanan yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi Maluku.
Dengan begitu, kedua pejabat eselon II di lingkup Pemda Provinsi Maluku itu langsung digelandang dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Negara di Waiheru, Ambon setelah keduanya menjalani pemeriksaan sejak pukul 11.00 Wit.
Seperti diketahui, Kadis Infokom Drs.Lies Ulahayanan dijadikan tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan Website di beberapa kabupaten di Maluku, sedangkan mantan Kadis Kesehatan Provinsi Maluku, dr. Rukiah Marasabessy, M. Kes, dijadikan tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) dimana sejumlah bawahannya sudah masuk penjara beberapa waktu lalu setelah divonis pengadilan.
Informasi yang berhasil dihimpun dari pihak Kejaksaan, kedua ‘srikandi’ ini sempat menolak untuk menandatangani surat penahanan namun akhirnya tidak bisa berkutik setelah pihak Kejaksaan kembali membuat surat penahanan untuk ditandatangani.
Ulahyanan yang biasanya tegar dan bersuara lantang ketika menghadapi wartawan, ternyata sempat menangis ketika menghadapi detik-detik terakhir penahanan dirinya oleh pihak Kejaksaan. Sementara Rukiah Marasabessy sendiri, tidak berdiri dari kursi yang didudukinya dan menolak untuk ditahan. Pihak penyidik kejaksaan sempat kerepotan menghadapi sikap kedua tersangka yang sudah lama menghidup udara bebas tersebut.
Ulahayanan yang mengenakan stelan celana panjang berwarna abu-abu, terlebih dahulu meninggalkan ruangan penyidik dengan pengawalan ketat dari petugas kejaksaan dan pihak kepolisian menaiki mobil Avansa hitam dengan Nomor Polisi DE 1254 AM. Bahkan saat digiring ke mobil yang akan membawanya dari kantor kejaksan ke rumah tahanan, sempat terjadi aksi dorong antara wartawan yang berusaha mengabadikan wajah Ulahyanan dengan petugas kepolisian.
Sementara Marasabessy yang juga mengenakan stelan berwarna gelap mendapat pengawalan ketat dan langsung menaiki mobil Avansa berwarna hitam dengan Nomor Polisi DE 1313 AM. Sebelum dibawa ke rumah tahanan, suasana di Kantor Kejati Maluku sendiri terlihat mencekam dengan adanya sejumlah aparat kepolisian yang berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Sementara itu, mobil tahanan milik Kejati juga telah terparkir sebelumnya sebagai sinyal akan membawa kedua ‘srikandi’ tersebut usai diperiksa. Bahkan sejumlah petugas kejaksaan terlihat bergerombol di halaman kantor kejaksaan. Mereka terlihat saling berbisik satu dengan lainnya.
Ruas jalan di depan Kantor Korps Adhyaksa ini juga ditutup, sehingga arus lalulintas sempat terhenti, saat kedua mobil yang dinaiki ‘srikandi’ dari Dinas Infokom dan Dinas Kesehatan itu keluar dari halaman Kejaksaan dikawal mobil tahanan yang berisi petugas kepolisian bersenjata lengkap. Wajah Ulahyanan sendiri terlihat memerah dan hanya menunduk saat digiring menuju mobil.
Sementara itu, dalam keterangannya, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) A.G Hadari yang didampingi tim penyidik menegaskan, kedua tersangka langsung ditahan, setelah menjalani pemeriksaan dan dikumpulkannya bukti-bukti. Ulahyanan yang adalah Kadis, harus juga ikut bertanggug jawab dalam pengerjaan proyek Website yang diduga merugikan Negara sekitar Rp 1,9 miliar pada seluruh kabupaten kota di Maluku. Sebelum Kadis Ulahayaan ditahan, salah satu kontraktor yang melaksanakan proyek tersebut yakni Vicky Tjiam, telah terlebih dahulu ditahan. Pihak Kejati sendiri masih menunggu hasil audit dari BPKP terkait dengan kerugian Negara. Sedangkan Marasabessy sendiri terbukti menerima uang atau sesuatu (gratifikasi) yang berkaitan dengan jabatannya senilai Rp. 70 juta yang diberikan oleh Raymon Sutanto melalui Harry Hitijahubessy. Proyek itu sendiri bernilai Rp.900 juta pada tahun 2004. Keduanya dikenakan pasal 11 dan 12 UU No. 31 tahun 1999 tentang korupsi.”Penahanan keduanya juga lebih ditekankan untuk penegakan hukum”, ungkapnya. Selain dugaan korupsi dalam pengadaan website untuk semua kabupaten di Maluku, penyidik kejaksaan juga sementara mengusut dugaan korupsi lainnya di Dinas Infokom dalam kaitan dengan pengadaan radio perbatasan. Bukan itu saja, kejaksaan juga akan mengusut dugaan korupsi dalam pembangunan sejumlah kantor pos di beberapa kabupaten di Maluku yang bersumber dari Dana Inpres No.6 Tahun 2003.
Dalam kasus korupsi Alat-alat Kesehatan (Alkes) pada Dinas Kesehatan dimasa kepemimpinan dr Rukiah Marasabessy, ada hal menarik dalam penanganannya.Dalam penyidikan kasus tersebut, kendati Polada Maluku sudah menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Marasabessy dan menetapkannya sebagai tersangka namun Rukiah Marasabessy tidak pernah ditahan. Belakangan, berkas pemeriksaan kasus korupsi di Dinas Kesehatan dengan tersangka dr Rukiah Marasabessy itu dilimpahkan ke Kejaksaan TInggi Maluku.
Informasi yang didapat, tarik-menariknya penyelesaian kasus korupsi dana Alkes di Polda Maluku ini lantaran adanya intervensi pejabat teras di daerah ini. Informasi lainnya, dalam kasus korupsi Alkes maupun kasus korupsi di Dinas Infokom, kedua pejabat eselon II di jajaran Pemerintah Provinsi Maluku ini telah memberikan sejumlah uang dari hasil jarahannya kepada para atasannya. Kini menjadi tugas aparat penyidik maupun pengadilan untuk mengungkapkan dugaan bagi-bagi uang hasil jarahan tersebut kepada atasan mereka agar diketahui luas oleh publik. (THIEAN)

Rabu, 06 Agustus 2008

Suara Hatumari: BPKP Temukan Kerugian Rp 5 M - Dugaan Korupsi Sukawi

Suara Hatumari: BPKP Temukan Kerugian Rp 5 M - Dugaan Korupsi Sukawi

Tinggal Berharap pada KPK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya tetap mempertahankan Paskah Suzetta dan MS Kaban dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu. Menurut kesaksian Hamka Yandhu dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Paskah disebutkan telah menerima dana Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 1 miliar, sedangkan Kaban disebutkan menerima dana Rp 300 juta. Keduanya bersama dengan 50 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 lainnya juga disebutkan telah menerima dana BI dalam berbagai bentuk.
Pemerintahan Presiden Yudhoyono dikenal publik sebagai pemerintahan yang menempatkan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama. Presiden juga beberapa kali menegaskan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi dan itu akan dimulai dari halaman istana.
Komitmen itu diwujudkan Presiden saat memberi arahan kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk membenahi Kejaksaan Agung yang kredibilitasnya rontok menyusul terungkapnya percakapan telepon Artalyta Suryani dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso. Keduanya kemudian dicopot dari jabatannya
Dalam kasus Paskah dan Kaban, Presiden memberikan respons berbeda. Kedua menteri itu dipanggil Presiden untuk memberikan keterangan. Kesimpulannya; Presiden memutuskan tetap mempertahankan kedua menteri itu dan menegaskan masih memercayai keduanya. Kepercayaan itu akan dicabut jika keduanya dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Kita menghormati putusan Presiden itu karena berdasarkan konstitusi menteri adalah pembantu presiden. Penggantian menteri seperti pernah dilakukan Presiden Yudhoyono saat mengganti Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin dan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra adalah hak prerogatif Presiden.
Penilaian publik yang muncul-apa pun penilaian itu-wajar karena publik mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap Presiden dalam pemberantasan korupsi. Ekspektasi itu juga ikut terbentuk oleh pernyataan Presiden sendiri soal pemberantasan korupsi. Reaksi publik, yang bisa mewujud dalam berbagai bentuk, tentunya sudah diperhitungkan Presiden. Meratanya penerima dana BI dari hampir semua parpol tentu menjadi faktor yang dipertimbangkan Presiden untuk tetap mempertahankan keutuhan kabinetnya sampai Pemilu 2009.
Terlepas dari kalkulasi politik pragmatis, kita tinggal menaruh asa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan pemberantasan korupsi. Dalam konteks itu. memanggil dan mengonfrontasikan semua pihak yang diduga menerima dana BI dengan Hamka Yandhu dan pejabat BI lainnya adalah keniscayaan hukum. Biarlah hakim dan jaksa memberikan penilaian secara hukum, sementara publik akan mene-ropongnya dari berbagai sudut pandang, moral, kepatutan, etika, atau hukum sebagai bekal mengambil sikap politik.
*** Sumber : Kompas, 6 Agusutus 2008