Tumo, adalah mahluk yang menjijikkan. Karena kalimat tersebut dalam bahasa Jawa berarti Kutu yang tinggal di kulit kepala. Lalu apa hubungannya dengan wartawan yang senang diberi Tumo ?
Masih mengenai tumo yang berarti kutu pada kulit kepala. Konon, ada yang meyakini bahwa binatang yang membuat kulit kepala gatal tersebut dapat dijadikan ramuan sebagai obat sakit kuning. Sehingga wartawan yang senang diberi tumo, diasumsikan bahwa mereka adalah penderita penyakit kuning…
“Lho…, terus apa iya, ada wartawan yang senang diberi tumo, apalagi mereka berpredikat wartawan senior, wartawan mana?”
Ternyata istilah tumo tersebut hanyalah sebuah tradisi yang dibuat bahasa plesetan… Tumo yang sebenarnya, adalah kepanjangan dari pitu limo, atau tujuh puluh lima ribu.
Dalam setiap 'acara', kegiatan sidang Paripurna ataupun ekspose di DPRD Provinsi Jawa Tengah, pihak Humas memberikan bantuan transport pada wartawan yang bertugas liputan disana dengan nominal 'tumo' tadi.
Padahal, jumlah wartawan yang bertugas khusus di lingkungan DPRD Jateng bisa mencapai seratus orang. Menurut Christin staf humas DPRD, peserta yang mengikuti peliputan hanya para senior yang terdiri dari wartawan cetak (Harian, Mingguan, Bulanan, dan bulan-bulanan ?), elektronik (TV, Radio, dan Situs), dan kegiatan seperti itu, tiap bulannya berlangsung beberapa kali.
Dengan demikian, dana yang terserap untuk pemberian transport pada wartawan tersebut dalam satu tahun APBD bisa mencapai ratusan juta…
“Wah, kalau dihitung satu tahun lumayan banyak juga, ya ? bisa untuk bikin sumur artethis di daerah kekeringan, atau untuk pencegahan banjir karena rob bagi beberapa RT...”.
Lalu transport untuk wartawan yang notabene adalah “pihak ketiga” tersebut apa memang ada anggarannya dalam APBD ?
Menurut Rani Ratnaningsih SH, Kasubag Humas dan Publikasi Sekretariat DPRD Jateng, anggaran transport untuk pihak ketiga memang tidak diperbolehkan, untuk itu pihaknya melakukan “penyiasatan” anggaran guna keperluan tersebut.
“Karena dalam disiplin anggaran tidak membolehkan pemberian transport bagi pihak ketiga, maka kami memasukan dalam laporan bantuan. Hal tersebut kami maksudkan sebagai tali asih kemitraan pada rekan-rekan wartawan yang bertugas disini” Ungkapnya.
Ditengarai, predikat wartawan senior yang dijadikan acuan oleh humas DPRD masih rancu dan hanya berasaskan kedekatan. Sehingga ada kalanya menimbulkan kecemburuan dan kesalah pahaman, seperti yang dialami oleh wartawan dari sebuah tabloid.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa wartawan yang ada, diantaranya adalah wartawan “CNN” (bahasa Sunda : Can Nulis Nulis = Tidak Pernah Nulis) alias wartawan Muntaber = Muncul Tanpa Berita, meskipun dirinya punya press card dan medianya eksis, namun keberadaan medianya hanya dijadikan sebagai alat provokasi, agar dirinya mendapatkan perhatian tersendiri dari sebuah instansi. Disamping itu, masih ada juga 'wartawan' yang sudah tidak jelas eksistensi medianya, namun oleh humas masih dikategorikan sebagai 'wartawan senior'.
Oleh karenanya, pihak humas diharapkan dapat memulai pembenahan lagi 'system kemitraan' yang ada. Jangan sampai timbul kesan dan akibat negative. Baik terhadap kecemburuan sesama wartawan, ataupun pengistilahan wartawan senior itu sendiri.
Wartawan senior yang sesungguhnya, mereka tidak akan mau mengantri ambil jatah tumo. Bahkan media massa yang telah mapan, secara tegas melarang wartawan senior ataupun juniornya, untuk ambil jatah sejenis tumo dimaksud…
Dari segi fungsi, Humas DPRD Jateng juga kurang terlihat produktifitasnya. Kegiatannya dari waktu ke waktu hanya koordinasi, lalu kemudian memberi ‘jatah’ tumo... Sedangkan produk khas yang seharusnya dimiliki Humas adalah adanya ‘press release’, ataupun notulen kegiatan. Hal tersebut diperlukan bagi wartawan yang tidak sempat hadir, dan tidak bermaksud cari tumo, tapi cari bahan untuk pemberitaan...
Demikian halnya dengan disiplin anggaran. Bila sudah berani mensiasati laporan keuangan, bukan tidak mungkin akan timbul kecurigaan, bahwa laporan keuangan yang lainnya juga ada yang disiasati. Kalau anggaran untuk “tumo” tersebut tidak ada dalam APBD, lalu ‘dicomotkan’ dari pos anggaran mana ? Seperti halnya sebuah teori tentang kebohongan.
“Seseorang akan berbohong guna menutupi kebohongan lainnya. Demikian seterusnya, dia akan terus berbohong dan berbohong…”
***Bagus_BS_watawan “ecek-ecek” tapi sudah gak suka makan tumo…
(Suara Hatumari_Edisi_14)
Masih mengenai tumo yang berarti kutu pada kulit kepala. Konon, ada yang meyakini bahwa binatang yang membuat kulit kepala gatal tersebut dapat dijadikan ramuan sebagai obat sakit kuning. Sehingga wartawan yang senang diberi tumo, diasumsikan bahwa mereka adalah penderita penyakit kuning…
“Lho…, terus apa iya, ada wartawan yang senang diberi tumo, apalagi mereka berpredikat wartawan senior, wartawan mana?”
Ternyata istilah tumo tersebut hanyalah sebuah tradisi yang dibuat bahasa plesetan… Tumo yang sebenarnya, adalah kepanjangan dari pitu limo, atau tujuh puluh lima ribu.
Dalam setiap 'acara', kegiatan sidang Paripurna ataupun ekspose di DPRD Provinsi Jawa Tengah, pihak Humas memberikan bantuan transport pada wartawan yang bertugas liputan disana dengan nominal 'tumo' tadi.
Padahal, jumlah wartawan yang bertugas khusus di lingkungan DPRD Jateng bisa mencapai seratus orang. Menurut Christin staf humas DPRD, peserta yang mengikuti peliputan hanya para senior yang terdiri dari wartawan cetak (Harian, Mingguan, Bulanan, dan bulan-bulanan ?), elektronik (TV, Radio, dan Situs), dan kegiatan seperti itu, tiap bulannya berlangsung beberapa kali.
Dengan demikian, dana yang terserap untuk pemberian transport pada wartawan tersebut dalam satu tahun APBD bisa mencapai ratusan juta…
“Wah, kalau dihitung satu tahun lumayan banyak juga, ya ? bisa untuk bikin sumur artethis di daerah kekeringan, atau untuk pencegahan banjir karena rob bagi beberapa RT...”.
Lalu transport untuk wartawan yang notabene adalah “pihak ketiga” tersebut apa memang ada anggarannya dalam APBD ?
Menurut Rani Ratnaningsih SH, Kasubag Humas dan Publikasi Sekretariat DPRD Jateng, anggaran transport untuk pihak ketiga memang tidak diperbolehkan, untuk itu pihaknya melakukan “penyiasatan” anggaran guna keperluan tersebut.
“Karena dalam disiplin anggaran tidak membolehkan pemberian transport bagi pihak ketiga, maka kami memasukan dalam laporan bantuan. Hal tersebut kami maksudkan sebagai tali asih kemitraan pada rekan-rekan wartawan yang bertugas disini” Ungkapnya.
Ditengarai, predikat wartawan senior yang dijadikan acuan oleh humas DPRD masih rancu dan hanya berasaskan kedekatan. Sehingga ada kalanya menimbulkan kecemburuan dan kesalah pahaman, seperti yang dialami oleh wartawan dari sebuah tabloid.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa wartawan yang ada, diantaranya adalah wartawan “CNN” (bahasa Sunda : Can Nulis Nulis = Tidak Pernah Nulis) alias wartawan Muntaber = Muncul Tanpa Berita, meskipun dirinya punya press card dan medianya eksis, namun keberadaan medianya hanya dijadikan sebagai alat provokasi, agar dirinya mendapatkan perhatian tersendiri dari sebuah instansi. Disamping itu, masih ada juga 'wartawan' yang sudah tidak jelas eksistensi medianya, namun oleh humas masih dikategorikan sebagai 'wartawan senior'.
Oleh karenanya, pihak humas diharapkan dapat memulai pembenahan lagi 'system kemitraan' yang ada. Jangan sampai timbul kesan dan akibat negative. Baik terhadap kecemburuan sesama wartawan, ataupun pengistilahan wartawan senior itu sendiri.
Wartawan senior yang sesungguhnya, mereka tidak akan mau mengantri ambil jatah tumo. Bahkan media massa yang telah mapan, secara tegas melarang wartawan senior ataupun juniornya, untuk ambil jatah sejenis tumo dimaksud…
Dari segi fungsi, Humas DPRD Jateng juga kurang terlihat produktifitasnya. Kegiatannya dari waktu ke waktu hanya koordinasi, lalu kemudian memberi ‘jatah’ tumo... Sedangkan produk khas yang seharusnya dimiliki Humas adalah adanya ‘press release’, ataupun notulen kegiatan. Hal tersebut diperlukan bagi wartawan yang tidak sempat hadir, dan tidak bermaksud cari tumo, tapi cari bahan untuk pemberitaan...
Demikian halnya dengan disiplin anggaran. Bila sudah berani mensiasati laporan keuangan, bukan tidak mungkin akan timbul kecurigaan, bahwa laporan keuangan yang lainnya juga ada yang disiasati. Kalau anggaran untuk “tumo” tersebut tidak ada dalam APBD, lalu ‘dicomotkan’ dari pos anggaran mana ? Seperti halnya sebuah teori tentang kebohongan.
“Seseorang akan berbohong guna menutupi kebohongan lainnya. Demikian seterusnya, dia akan terus berbohong dan berbohong…”
***Bagus_BS_watawan “ecek-ecek” tapi sudah gak suka makan tumo…
(Suara Hatumari_Edisi_14)
2 komentar:
kalo gitu sapa yang salah, ya ? yang ngasih predikat "Wartawan Senior" ato kduanya ? tapi yang pasti, masih ada fenomena, bahwa wartawan adalah 'mahluk' yang masih ditakuti...
Kalau pitek apa yach, kalau tumo kan pitu limo
Posting Komentar