Rabu, 30 Juli 2008

Merdeka... ?

Merdeka, menurut para pendiri republik, dimaksudkan sebagai sebuah kebebasan atas penindasan dan perbudakan dari kolonialisme. Kalau makna kemerdekaan adalah berakhirnya sejarah kolonialisme yang ditandai dengan sifat eksploitasi manusia, di mana manusia hanya dijadikan alat produksi semata, berarti kita sekarang belum merdeka seutuhnya.
Kita baru merdeka dalam tahap simbol formal bahwa Indonesia tidak berada di bawah bayang-bayang negara lain, tapi kita belum merdeka dalam arti yang digariskan oleh founding fathers itu.
Sebagian besar rakyat kecil masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan oleh elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam yang seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian sangat kecil orang.
Sebagian kecil orang itu mungkin sudah merasa merdeka, akan tetapi sebagian sangat besar masyarakat belum merasakan kemerdekaan dalam arti demikian. Sebab sumber alam bukan untuk kepentingan mereka, melainkan demi kepentingan para pemilik modal.
Dengan demikian, refleksi kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam sebuah pertanyaan besar sejauh mana bangsa ini mempertanyakan kembali cita-cita kemerdekaan yang mendasar. Kata-kata “merdeka” itu dari apa, oleh siapa, untuk apa dan bagaimana caranya? Apakah cita-cita yang melatarbelakangi kemerdekaan itu sudah sesuai dengan orientasi, visi dan misi sebagai bangsa yang berdaulat ? Lalu berdaulatkah bangsa kita saat ini? Secara formal-konstitusional memang kita berdaulat, tapi bagaimana praktiknya?
Merefleksikan kemerdekaan yang setiap tahun kita rayakan, penulis mengingat almarhum Romo Mangun. Baginya, kemerdekaan adalah kepedulian untuk terus-menerus memberdayakan manusia agar ia memahami dirinya sendiri sekaligus mengaktualisasikan kreativitasnya demi membangun kemakmuran bangsa dan negara.
Gagasan Romo Mangun tersebar dalam berbagai pikiran untuk membebaskan manusia dari belenggu. Bangsa baginya tidak hanya sebagai kumpulan manusia yang setiap tahun merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan bangsa adalah cerminan dari manusia sebagai individu yang otonom.
Kenyataannya, meski kita sudah merdeka setengah abad lebih dari penjajah, namun arti kemerdekaan itu hanya bisa dilekatkan sebagai kemerdekaan secara formal. Itupun masih harus kita pertanyakan kembali, meski kita sudah merdeka namun pada hakikatnya kita masih terjajah secara ekonomi. Kemerdekaan sebagai sebuah bangsa secara formal bukanlah cermin kemerdekaan manusia per manusia di dalamnya. Kemerdekaan itu lebih berkonotasi sebagai kemerdekaan kolektif, formalisitik dan simbolistik. Bukan sebagai kemerdekaan jiwa dan otonomi individu di dalamya.
Kegelisahan bangsa ini, terutama, adalah karena selama ini lebih menjalankan reformasi yang setengah hati. Ini disebabkan oleh mentalitas yang setengah-setengah dalam menegakkan keadilan dan hukum. Tercermin dalam berbagai keraguan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Hukum dan keadilan kerapkali dikalahkan oleh kekuatan politik dan uang. Dengan uang semua perkara menjadi beres dan mudah diselesaikan di bawah meja. Keadilan hanya menjadi permainan kata-kata oleh para elit politik yang selalu berdalih demi menjaga konsitusi. Semua tahu bahwa konsitusi sedang dijalankan dengan setengah hati; “sesuai dengan pesanan”.
Dalam konteks pendidikan, ketakutan luar biasa terhadap mereka yang memiliki uang merupakan cermin gagalnya pendidikan di republik ini. Kita belum mampu memproses manusia yang merdeka; mendidik mereka untuk benar-benar menjadi merdeka.
Belum mampu membebaskan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder, yang tidak fair, yang cenderung menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, yang tidak setia kepada kawan, mudah mengkhianati dan menjualnya, yang enak dan tega memfitnah dan membunuh nama baik dan kesempatan kawan. Dari sana kemudian lahir suatu watak yang tidak suka membela kebenaran.
Fenomena kemerdekaan belakangan ini justru didapat oleh para kaum miskin dan golongan ekonomi lemah. Betapa tidak, manakala golongan tersebut mengalami sakit, bukan tidak mungkin mereka akan memperoleh “kemerdekaan abadi”, sebab mereka tidak mampu berobat, apalagi jalani perawatan di rumah sakit, sebab harga obat sangat mahal, dan biaya rawat inap naik 400 persen....
Merdeka........... !!!

Tidak ada komentar: